MEMBANGUN PERIKANAN BERKELANJUTAN
|
Ditulis oleh adminmai
|
Kamis, 22 Desember 2011 11:33
|
Meskipun merupakan negara maritim dan kepulauan terbesar
di dunia, Indonesia baru memiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan pada
masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) menangani perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri
pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi perairan, pembangunan
pulau-pulau kecil, produksi garam, pemanfaatan benda-benda berharga dari
kapal tenggelam, serta pengembangan sumber daya alam nonkonvensional di wilayah
pesisir dan samudra.
Sejak kehadiran KKP tampak sejumlah kemajuan. Produksi
perikanan, yang pada tahun 1999 baru 3,5 juta ton (peringkat ketujuh dunia),
tahun 2010 mencapai 10,5 juta ton dan Indonesia menjadi produsen perikanan
terbesar ketiga setelah China (55 juta ton) dan India (14 juta ton).
Pada 2010 sumbangan protein ikan dalam total asupan
protein hewani rakyat Indonesia barn 50 persen, sekarang 62 persen. Nilai
ekspor perikanan juga meningkat dari 1,5 miliar dollar AS (1999) menjadi 3
miliar dollar AS (2010). Demikian pula dengan kontribusi sektor kelautan dan
perikanan terhadap produk domestik bruto, kini mencapai 3,2 persen dari 1,9
persen pada 1999.
Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai.
Sampai sekarang mayoritas nelayan, terutama nelayan buruh, masih hidup dalam
kubangan kemiskinan. Ironisnya, stok ikan di beberapa wilayah perairan laut
seperti Selat Malaka, Laut Jawa, pesisir selatan Sulawesi, Selat Bali, dan
Arafura telah mengalami tangkap jenuh (fully-exploi-ted) atau kelebihan
tangkap (overfishing). Ekosistem pesisir seperti estuari, mangrove, terumbu
karang, dan padang lamun banyak yang rusak, baik akibat eksploitasi, konversi
(reklamasi), maupun pencemaran. Padahal, ekosistem pesisir adalah tempat
pemijahan, asuhan, mencari makan, atau membesarkan diri hampir semua jenis
ikan dan biota laut.
Yang memprihatinkan adalah gempuran impor ikan yang
menggila dalam tiga tahun terakhir. Sebelumnya kita hanya mengimpor tepung
ikan, salmon, dan beberapa produk perikanan yang tidak bisa diproduksi di
Indonesia dan dengan nilai yang tidak signifikan (kurang dari 50 juta dollar
AS) per tahun.
Sekarang komoditas yang diimpor termasuk yang ada di
Indonesia seperti kembung, layang, teri, tongkol, dan malalogis dengan nilai
lebih dari 200 juta dollar AS per tahun. Padahal, potensi produksi perikanan
Indonesia terbesar di dunia, 65 juta ton per tahun, dan baru dimanfaatkan
10,5 juta ton (16 persen).
Perbaiki pengelolaan
Untuk mewujudkan perikanan tangkap nasional berkelanjutan,
hams dipastikan bahwa laju penangkapan sumber daya (stok) ikan tidak melebihi
potensi produksi lestari (maximum sustainable yield/MSY). Total MSY sumber
daya ikan laut Indonesia 6,5 juta ton per tahun. Tahun 2010 total produksi
ikan laut 5,1 juta ton. Total MSY ikan perairan tawar 0,9 juta ton per tahun
dan barn dimanfaatkan 0,5 juta ton.
Persoalannya distribusi nelayan dan kapal ikan tidak
merata.. Lebih dari 90 persep armada kapal ikan Indonesia terkonsentrasi di
perairan pesisir dan laut dangkal seperti Selat Malaka, pantura, Selat Bali,
dan pesisir selatan Sulawesi. Di situ pula sebagian besar telah mengalami
kelebihan tangkap. Jika laju penangkapan ikan seperti sekarang berlanjut,
tangkapan per kapal akan menurun, nelayan semakin miskin, dan sumber daya
ikan pun punah seperti ikan terubuk di Selat Malaka dan ikan terbang di
pesisir selatan Sulawesi.
Sebaliknya jumlah kapal ikan Indonesia yang beroperasi di
laut lepas, laut dalam, dan wilayah perbatasan seperti Laut Natuna, Laut
China Selatan, Laut Sulawesi, Laut Seram, Laut Banda, Samudra Pasifik, Laut
Arafura, dan Samudra Hindia bisa dihitung dengan jari. Di sinilah kapal-kapal
ikan asing merajalela dan merugikan negara minimal Rp 30 triliun per tahun.
Maka laju penangkapan ikan di perairan yang telah kelebihan tangkap hams
dikurangi dan secara bersamaan memperbanyak armada kapal ikan modern untuk
beroperasi di wilayah perairan yang masih underfishing atau yang selama ini
dijarah nelayan asing. Semua ini akan membantu pengembangan ekonomi daerah
berbasis perikanan tangkap.
Kedua, setiap kapal ikan hams dilengkapi dengan sarana
penyimpanan ikan yang berpendingin untuk mempertahankan kualitas ikan sampai
di tempat pendaratan ikan. Nelayan hams dilatih dan diberi penyuluhan untuk
mempraktikkan cara-cara penanganan ikan yang baik selama di kapal. Nelayan di
seluruh Nusantara hams dijamin dapat mendaratkan ikan tangkapannya di tempat
pendaratan ikan atau pelabuhan perikanan. Selain memenuhi standar sanitasi
dan higienis, pelabuhan perikanan juga hams dilengkapi dengan pabrik es,
gudang pendingin, pabrik pengolahan ikan, mobil pengangkut ikan berpendingin,
koperasi penjual alat tangkap, BBM, beras, dan perbekalan melaut, serta
pembeli ikan bonafide. Ketiga, rehabilitasi ekosistem-ekosistem pesisir yang
telah rusak serta mengendalikan pencemaran dan mengembahgkan kawasan
konservasi laut. Selain itu, pengayaan stok (stock enhancement) dan
restocking dengan spesies-spesies yang cocok dapat dilakukan di wilayah
perairan yang kelebihan tangkap.
Perikanan budidaya
Potensi ekonomi perikanan yang jauh lebih besar
sesungguhnya terdapat di perikanan budidaya (akuakultur). Namun, sampai saat
ini pemanfaatan perikanan budidaya masih sangat rendah, hanya 4,88 juta ton
pada 2010 atau 8,5 persen dari total potensi produksi 57,6 juta ton per tahun.
Padahal, permintaan terhadap beragam produk alwakultur untuk memenuhi
kebutuhan pangan, obat, dan bahan baku industri terus meningkat.
Perairari laut Indonesia yang berpotensi untuk usaha
budidaya laut (mariculture) 24 juta hektar dengan potensi produksi lestari
41,6 juta ton per tahun. Pada 2010 barn diproduksi 3,4 juta ton atau 3,4
persen. Komoditas budidaya laut yang bisa dikembangkan antara lain kerapu,
kakap putih, baronang, bawal bintang, teripang, abalone, kerang hijau,
gonggong, kerang mutiara, dan berbagai spesies rumput laut. Luas perairan
payau yang cocok untuk budidaya tambak 1,25 juta ha. Dengan potensi produksi
lestari sekitar 10 juta ton per tahun pada 2010, produksinya baru 1 juta ton
atau 10 persen. Jenis komoditas yang dapat dibudidayakan di tambak antara
lain udang, bandeng, kerapu lumpur, nila, kepiting soka, dan rumput laut
Gracilaria spp.
Potensi produksi lestari perikanan budidaya air tawar
(danau, waduk, sungai, kolam, saluran irigasi, dan sawah) 6 juta ton per
tahun. Pada 2010 barn diproduksi sebesar 0,5 juta ton atau 8,3 persen.
Beberapa komoditas unggulan yang bisa dibudidayakan di perairan tawar adalah
ikan nila, patin, lele, emas, gurami, bawal air tawar, udang galah, dan
lobster air tawar.
Raksasa tidur
Potensi perikanan budidaya yang luar biasa itu ibarat
"raksasa tidur" yang bisa ditransformasikan menjadi sumber
kesejahteraan bangsa melalui penerapan perikanan budidaya di setiap unit
usaha. Ini meliputi penggunaan bibit unggul, pakan berkualitas, pengendalian
hama dan penyakit, manajemen kualitas air dan tanah, tata letak dan
konstruksi perkolaman, serta keamanan hayati. Dahsyatnya potensi perikanan
budidaya dapat dilihat pada nilai ekonomi dari tiga komoditas saja: udang
vaname, rumput laut Gracilaria spp dan Eucheuma
Jika kita mampu mengembarigkan 100.000 ha tambak (9 persen
potensi) untuk budidaya udang vaname, dalam setahun dapat diproduksi 2 juta
ton udang vaname dengan nilai 10 miliar dollar AS. Pendapatan petambak bisa
Rp 8 juta per ha perbulan dengan, tenaga kerja 400.000 orang. Dengan
mengembangkan 200.000 ha tambak (18 persen potensi) untuk Gracilaria, setiap
tahun dapat dihasilkan 4 juta ton rumput laut kering setara dengan 2 miliar
dollar AS, pendapatan petambak Rp 3 juta per ha per :bulan, dan lapangan
kerja tercipta 1 juta orang.
Jika 1 juta ha perairan laut (4 persen potensi)
dikembangkan untuk budidaya Eucheuma spp, dalam setahun dapat diproduksi 20
juta rumput laut kering yang nilainya 20 miliar dollar AS. Pendapatan
pembudidaya Rp 12 juta per ha per bulan dan tenaga kerja yang terserap 4 juta
orang. Jika diproses lebih lanjut, rumput laut bisa menghasilkan sekitar 500
produk hilir (end products), termasuk berbagai produk farmasi dan kosmetik,
yang nilai ekonominya bisa berlipat ganda.
Sudah tentu resep teknikal pembangunan perikanan di atas
hanya bisa mujarab jika kebijakan politik-ekonomi, terutama fiskal-moneter,
ekspor-impor, pendidikan, iptek, iklim investasi, dan otonomi daerah,
bersifat kondusif bagi tumbuh-kembangnya sektor kelautan dan perikanan. Peringatan
Hari Nusantara dapat menjadi momentum untuk mengubah paradigma pembangunan
berbasis daratan menjadi berbasis kelautan.
|
Potensi sektor perikanan Provinsi Sulsel meliputi perikanan
laut dan perikanan darat (tambak air payau, kolam, sawah, danau, sungai, dan
rawa). Berdasarkan data
produksi perikanan menurut kabupaten/kota di Sulsel pada tahun 2005
menunjukkan, secara keseluruhan produksi perikanan laut mencapai 315.734 ton
dengan daerah pengahasil terbesar adalah Kabupaten Bone sebesar 67.707,9 ton.
Kemudian menyusul Kabupaten Jeneponto dengan 43.670,7 ton, Kabupaten Takalar
sebesar 39.543,5 ton. Sementara produksi perikanan darat secara
keseluruhan mencapai 425.753,44 ton yang meliputi tambak 391.745,40 ton, kolam
13.798,90 ton, sawah 37,442 ton, danau 14.252,40 ton, dan sungai 2.091,4 ton,
dan produksi perikanan rawa mencapai 5.919,30 ton.
No comments:
Post a Comment